Peternak ayam petelur tetap merugi meski harga telur Meroket, jelang bulan ramadhan
Batu, Suaraglobal-Online – Jelang bulan ramadhan harga telur terus meroket, meski begitu peternak mengaku belum mampu menutup kerugian sebelumnya.
Ketua Kelompok Peternak Ayam Petelur Kota Batu, Rohmat Santoso SH mengatakan, jika kerugian mulai dialami mayoritas peternak ayam petelur sejak awal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak bulan Juli 2021 lalu.
“Kalau dikembalikan pada harga pokok penjualan, kami baru bisa impas jika keluar dari kandang per kilo telur dihargai 20 ribu rupiah,” ucapnya.
Lanjut ia, meski saat ini harga telur dari peternak ada pada angka 21 ribu rupiah, jika kenaikan tersebut baru berlangsung dua pekan ini, dan belum bisa menutupi kerugian sebelumnya.
“Sejak Juli 2021 lalu, kami pernah mengalami harga telur hanya 12 ribu per kilo. Tidak sedikit peternak yang akhirnya memilih gulung tikar,” keluhnya.
Rohmat menambahkan, faktor yang menjadikan harga telur tidak stabil, lebih menekankan pada poin peternak rakyat tidak mampu menentukan harga sendiri.
“Permainan broker dan sistem lelang membuat kami para peternak rakyat termonopoli dalam penentuan harga pasar,” jelasnya.
Lebih lanjut Rohmat, jika peternak tidak bisa mencapai harga 20 ribu per kilo, maka dipastikan kerugian per seribu ekor ayam dalam 500 ribu perhari, karena faktor mahalnya pakan.
“Harga pakan dan jagung sekarang mahal sekali. Pengaruh internasional, perang Rusia dan Ukraina juga berdampak pada pasokan bahan pakan yang menjadikannya mahal,” beber Rohmat.
Sementara itu, anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batu, Ludi Tanarto memberikan pandangan terkait kesulitan yang dihadapi para peternak ayam petelur.
Hancurnya harga telur pada saat PPKM, menurut Ludi juga disebabkan marak beredarnya hatched egg atau dalam istilah pasarnya disebut telur HE.
Telur HE sendiri umumnya berasal dari perusahaan-perusahaan pembibitan (breeding) ayam broiler atau ayam pedaging. Di mana telur yang tidak menetas (infertil), seharusnya tak dijual perusahaan integrator sebagai telur konsumsi di pasar.
“Selain dari telur infertil, telur HE bisa berasal dari telur fertil namun tak ditetaskan perusahaan breeding,” kata Ludi.
Alasannya, lanjut dia, antara lain suplai anakan ayam atau DOC (day old chick) yang sudah terlalu banyak, sehingga biaya menetaskan telur lebih mahal dari harga jual DOC.
“Telur HE berwarna lebih putih atau pucat dibandingkan telur ayam negeri yang dihasilkan dari peternakan ayam layer. Ukurannya pun hampir sama, dan tak ada perbedaan rasa ketika sudah dimasak untuk dikonsumsi,” terang dia.
Berbeda dengan telur ayam negeri, masih kata Ludi, telur HE lebih cepat membusuk, biasanya setelah lewat satu minggu.
“Karena telur HE berasal dari ayam yang telah dibuahi pejantan. Selain itu, telur HE biasanya sudah beberapa hari tersimpan di tempat penyimpanan maupun mesin tetas perusahaan,” jelas Ketua Fraksi PKS itu.
Ditekankan Ludi, faktor inilah yang membuat telur HE harganya jauh lebih murah dibandingkan telur ayam ras yang warnanya lebih kecoklatan.
“Karena berasal dari telur yang tak terpakai atau produk buangan breeding, harga telur HE ini sangat murah. Harganya hanya berada di kisaran Rp 4.000 – Rp 10.000/kg, jauh di bawah harga telur ayam ras yang umumnya dijual di pasar di atas Rp 20.000/kg,” tutup Ludi
Sebagi informasi, pemereintah lewat Kementerian Pertanian (Kementan) secara tegas melarang peredaran telur ayam HE (hatched egg) di pasar.
Kendati demikian, kenyataannya di lapangan, telur yang usia layak konsumsinya sangat pendek ini banyak dijual bebas di pasaran.
Larangan menjual telur HE diatur dalam Permentan Nomor 32 Tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.
Dalam Bab III pasal 13 disebutkan, pelaku usaha integrasi, pembibit GPS, pembibit PS, pelaku usaha mandiri dan koperasi dilarang memperjualbelikan telur tertunas dan infertil sebagai telur konsumsi. (Fuad)